EDUKASI ISLAMI

Home » Uncategorized » KONSEP PENDIDIKAN JIWA MENURUT AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

KONSEP PENDIDIKAN JIWA MENURUT AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

Recent Comments

Archives

Categories

jurnal edukasi islami

Edukasi islami

Oleh: M. Priyatna

Abstrak

Al-Qur’an menyebut nafs dengan berbagai kata jadiannya dan pengulangannya sebanyak 303 kali. Nafs yang mengandung kata jiwa di sebut dalam al-Qur’an sebagai ruh, fithrah, qalb, fu`ad, aql dan bashirah, yang kesemuanya ini lalu menjadi sub sistem dan komponen tersendiri dari nafs. Interaksi dari semua sub sistem ini lalu diikat dengan perasaan dan pikiran sehingga nafs menjadi satu kesatuan  yang menjadi penggerak tingkah laku

Bagi seorang muslim, ia harus berupaya menggapai masalah tazkiyatun nafs dari serangkaian ibadah yang dikerjakannya. Artinya, ibadah yang dilakukan jangan hanya menjadi gerak-gerak fisik yang kosong dari ruh keimanan dan taqarrub kepada Allah . Sebaliknya, ibadah apapun yang kita kerjakan hendaknya juga bernuansa pembersihan jiwa.

 

Kata Kunci: Pendidikan Jiwa (nafs), Al-Qur’an, Al-Hadits

A. Pendahuluan

Al-Qur’an menyebut nafs dengan berbagai kata jadiannya dan pengulangannya sebanyak 303 kali. Nafs yang mengandung kata jiwa di sebut dalam al-Qur’an sebagai ruh, fithrah, qalb, fu`ad, aql dan bashirah, yang kesemuanya ini lalu menjadi sub sistem dan komponen tersendiri dari nafs. Interaksi dari semua sub sistem ini lalu diikat dengan perasaan dan pikiran sehingga nafs menjadi satu kesatuan  yang menjadi penggerak tingkah laku.

Hal ini tidak jauh berbeda dengan makna nafs dalam al-Qur’an:

  1. Totalitas manusia

“Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. (QS. Al Maaidah:32)

  1. Penggerak tingkah laku

“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS. 13:11)

Secara umum, nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia menunjuk pada sisi dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk. Karena potensi inilah, hendaknya ia mendapat perhatian yang besar dalam perkembangannya.

Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS.91: 7-8)

Dalam al-qur’an pun terdapat satu isyarat bahwasannya dari kedua potensi tersebut, sesungguhnya potensi kebaikan lebih kuat:

Ÿ“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia memperoleh pahala (dari kebaikan) yang dilakukannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang diusahakannya “. (QS.2: 286).

 Kasabat (yang dilakukan) dalam ayat tersebut menggambarkan bahwasannya pekerjaan yang dilakukan lebih mudah. Hal ini kontradiksi dengan kata Iktasabat (yang diusahakan) yang menggambarkan akan hal-hal yang sulit lagi berat.

Menanggapi hal ini Muhammad Abduh mengungkapkan bahwasannya nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan hal-hal yang baik daripada melakukan kejahatan, yang kesemuanya itu mengimplikasikan bahwa manusia pada dasarnya diciptakan  Allah untuk melakukan kebaikan.

“Hai manusia, apakah yang Telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang” (QS.82: 6-7).  

Hal ini tidak lepas dari dorongan jahat yang menggerakkan untuk merusak;

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS.12:53).

Dalam surat an-Nâs pun diisyaratkan adanya penggerak tingkah laku yang disebut was-was yang datang baik dari setan yang berwujud jin ataupun manusia. Was-was inilah yang mampu membuat nafs melepaskan diri dari fitrahnya. Pergejolakan antara mempertahankan fitrah dan mengikuti kecenderungan buruk inilah yang diproses dalam nafs. Ia diproses melalui seluruh komponen-komponen nafs yang akhirnya memunculkan sikap atas kecenderungan dan kenikmatan yang datang; diikuti atau dikendalikan dengan baik.

B. Sifat-sifat Jiwa

Jiwa yang dititipkan Allah kepada kita mempunyai banyak sifat. Sifat-sifat utama jiwa Allah firmankan dalam Al Qur’an, diantaranya:

  1. Menyuruh kepada kejahatan

Allah berfirman:

“Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.” (QS. 12:53)

  1. Menyesali

Allah berfirman:

“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS.75:2)

 

Seorang pendosa kakinya tetap berada dalam kejahatan selama ia tidak mencela jiwanya. Ia selalu membersihkan jiwanya dari yang meliputinya setiap hari dari perkataan-perkatan dan perbuatan-perbuatan yang menghambatnya masuk surga.

Imam Mujahid menyifati jiwa ini, “Ia adalah yang mengecam dan menyesal atas apa yang telah lalu, maka jiwanya menyesal dengan dengan keburukan yang telah dilakukannya; dan atas kebaikannya, kenapa ia tidak banyak dilakukan.

 

  1. Tenang

Allah berfirman:

“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. 89:27-30)

Imam al-Qurthubi berkata, “Jiwa yang tenang adalah yang tenang dan yakin; yakin bahwa Allah Tuhannya dan tunduk untuk itu.”

Ibnu Abbas berkata, “Yaitu tenang dengan pahala-pahala dari Allah.”

Imam Mujahid berkata, “Ridha dengan ketentuan Allah yang mengetahui bahwa kesalahannya bukan berarti untuk menimpakannya, dan apa yang menimpanya bukan berarti untuk menyalahkannya.”

Sayyid Quthb mengatakan tentang jiwa ini, “Tenang dalam kebahagiaan dan kesengsaraan, dalam keluasan dan kesempitan, dalam nikmat dan dalam ketiadaan nikmat. Tenang, maka tidak rgu; tenang, maka tidak menyeleweng; tenang, maka tidak akan tersesat di jalan; dan tenang, maka tidak kan kebingungan di hri penuh dengan keguncangan dan menakutkan (hari kiamat).” (Tafsir fi Zhilalil Qur’an Juz 26)

 

  1. Berubah-ubah

Allah berfirman:

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntung-lah orang yang mensucikan jiwa itu,Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(QS. 91:7-10)

 

Alat untuk memilih yang diberikan Allah ta’ala kepada manusia ini, menjadikannya mampu untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Dan, ia diperhitungkan di akhirat sesuai dengan amal baik dan buruknya. Itupun dengan kadar kesungguhan usaha yang diberikan manusia untuk mengubahnya (dari yang buruk kepada yang baik). Perubahan menuju kebaikan dinamakan at-tazkiyah ‘penyucian jiwa’ dan perubahan menuju keburukan dinamakan at-tadsiyah ’pengotoran jiwa’. Oleh karenanya Allah ta’la berfirman:

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.(QS. An Nisaa’: 79)

 

Sayyid Quthb, mengatakan, “Sesungguh-nya alam ini ciptaan yang berubah-ubah secara alami, berubah-ubah persiapan, dan berubah-ubah arahan.”

  1. Mampu Melakukan Tugas

Allah berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”. (QS. 2:286)

 

Ketika Allah menciptakan persiapan pada jiwa manusia untuk melakukan perbuatan baik atau buruk, Dia menyertakan pencipataan-Nya itu dengan kemampuan untuk melakukan amal yang diperintahkan dan penerapannya dipermudah.

Ayat ini menurut Ibnu Katsir bermakna, “Bahwasannya Allah tidak membebankan seseorang di atas kemampuannya. Dan ini termasuk kasih sayang-Nya, kelembutan-Nya dan kebaikan-Nya kepada manusia”.

  1. Mempermudah Untuk Melakukan Kesalahan

Allah berfirman:

“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.” (QS. 5:30)

 

Imam al-Qurthubi berkata, “Qabil dibujuk, dipermudah jiwanya dan didorong serta digambarkan kepadanya bahwasannya membunuh saudaranya adalah perkara mudah baginya.”

Diantara sifat-sifat jiwa yang lain adalah menipu manusia mempermudah melakukan kesalahan, serta melupakannya pada waktu singkat akibat apa yang dilakukannya itu. Dalam artian, jiwa menjadikan pandangan seseorang mudah untuk melakukan kemaksiatan dan keburukan.

  1. Membisikkan Untuk Melakukan Perbuatan Baik Atau Buruk

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Bisikan-bisikan adalah kata-kata jiwa.” Dikatakan, “Jiwanya membisikkan kepadanya.”

Waswasah ‘bisikan’ adalah suara yang tersembunyi yang tidak dapat diengar oleh orang lain. Bisikan adalah sifat diantara sifat-sifat jiwa dan diciptakan oleh pemilik jiwa itu, yakni Allah swt. Dan kata-kata ini terkadang baik dan terkadang buruk. Barangsiapa yang terus menerus menyucikan jiwanya, bisikan itu niscaya menyuruhnya melakukan kebaikan, dan jika tidak demikian, maka ia membisikkan dan menipunya untuk melakukan keburukan.

  1. Menghiasi Perbuatan Buruk

Allah berfirman:

“Berkata Musa: “Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) Hai Samiri?” Samiri menjawab: “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, Maka Aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu Aku melemparkannya, dan Demikianlah nafsuku membujukku”. (QS. 20: 95-96)

 

Imam al_qurthubi berkata, “Yaitu apa yang menyuruhmu dengan keadaanmu, dan apa yang membawamu pada apa yang kamu kerjakan.” Ia berkata, “Aku melaihat Jibril pada saat akhir kehidupan, maka aku tetapkan dalam jiwaku agar meraih bekasnya sekali pegangan. Tapi, aku tidak menetapkannya pada sesuatu, kecuali menjadikan baginya roh dan daging serta darah. Dan, ketika mereka memintamu untuk menjadikan mereka tuhan, jiwaku menghiasi untuk hal itu.”

Kata at-taswiil (memandang baik perbuatan buruk tersebut terdapat dalam surah Yusuf:

Allah berfirman:

“Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku). dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. 12:18)

C. Metode-Metode Pendidikan Jiwa

Metode-metode yang akan dibahas adalah metode dari hasil implementasi isi al Qur’an dan as-sunnah yang dihimpun dari pemahaman salafus sholih.

Lingkup metode-metode ini adalah implementasi dari sabda Nabi :

“Sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal darah, yang jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuh, tiada lain ia adalah hati.” (HR. Bukhori)

 

Ibnu hajar berkata, “Hati dikhususkan demikian karena ia adalah raja tubuh. Dengan baiknya raja maka baik pula rakyat, dan dengan rusaknya sang raja, maka ia akan merusakkan rakyatnya.” Oleh karena itu, para tabi’in meyakini bahwasannya penyakit-penyakit menjadikan hati sakit, dan metode-metode ini untuk mengobati penyakit-penyakit yang menimpanya dan menguatkannya agar tidak terkena penyakit kembali.

Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Hati bisa sakit selayaknya badan dan obatnya adalah tobat dan menjaganya dari debu, sebagaimana menjaga cermin dari debu dan membesihkannya dengan zikir; dan telanjang sebagaimana telanjangnya badan dan perhiasannya adalah takwa; lapar dan haus sebagaimana laparnya badan, dan makanan serta minumannya adalah ma’rifatullah “mengetahui Allah”, cinta kepada-Nya, tawakal dan mengembalikan sesuatu kepada Allah serta berbakti kepada-Nya”.

Obat-obat hati yang ditunjukkan Imam Ibnul Qoyim tidak dapat dicapai, kecuali dengan melalui kesungguhan (mujahadah) yang tinggi terhadap jiwa ini, diikuti dengan memerangi hawa nafsu dan setan, serta dunia dengan segala isinya, dari perhiasan dan daya tariknya. Dan ia adalah asal mula dari bagian-bagian pendidikan.

Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al Ankabuut:69)

Imam Ibnul Qoyyim berkata, “Allah mengkaitkan hidayah dengan jihad, mengingat manusia yang paling sempurna hidayahnya adalah yang besar jihadnya”.

Diantara metode-metode mendidik jiwa adalah sebagai berikut:

  1. Takut kepada Allah dan Menahan Jiwa dari maksiat

Allah berfirman:

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). (QS. An Naazi’aat:40-41)

 

Imam Qurthubi menuturkan perkataan Mujahid, “Yaitu takutnya di dunia kepada Allah azza wajalla ketika berada di lembah-lembah dosa dan ia terperosok di dalamnya. Dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu, yaitu menahan dari maksiat-maksiat dan hal-hal yang diharamkan.”

Sayyid Quthub rahimahullah berkata, “Yang takut dengan maqam Tuhannya tidak akan melakukan maksiat. Jika ia melakukannya karena ketentuan hukum lemahnya manusia, maka rasa takut akan mengantarkannya pada maqam yang utama, yaitu pada penyesalan dan permohonan ampun serta bertobat atas kesalahannya itu.”

Jiwa menahan dari nafsu adalah titik inti dalam lingkup ketaatan. Hawa nafsu menstimulasi dengan kuat kepada hal-hal yang melampaui batas (thugyaan), dan setiap yang melanggar ketentuan-ketentuan Allah serta kepada maksiat. Ia juga adalah dasar ujian, sebab munculnya kejahatan, dan manusia jarang melakukan kesalahan kecuali berasal dari hawa nafsu. Kebodohan mudah diobati, tetapi hawa nafsu adalah penyakit yang membutuhkan jihad dan kesungguhan yang lama untuk mengobatinya.

Takut kepada Allah adalah pencegah yang kuat terhadap dorongan-dorongan hawa nafsu yang ganas. Dan, kurang berdaya pertahanan terhadap dorongan-dorongan hawa nafsu, selain takut kepada Allah.” (Tafsir fi zhilalil Qur’an Juz 6)

Para tabi’in mendefinisikan takut adalah guncangan hati dan gerak-geriknya mengingat yang menakutkan, kuatnya ilmu dan hukum-hukum yang berlaku dan larinya hati dari hal-hal yang dibenci ketika merasakannya. Oleh karenanya, takut terhimpun dalam tiga poin berikut:

  1. Takut kepada Allah
  2. Takut dengan apa yang akan terjadi dari hukuman-hukuman Tuhan di dunia dan di akhirat
  3. Takut terkena hal-hal yang dibenci

 

Takut adalah dasar dalam menahan jiwa dari hawa nafsu yang mendorong pemiliknya kepada kemaksiatan.

Dan manusia tidak mungkin mempunyai kemampuan yang dapat mencegahnya untuk lepas dari hawa nafsu tanpa takut kepada Allah yang membantunya untuk itu.

 

  1. Membentuk jiwa yang sabar

Allah berfirman:

“Dan Bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya Telah kami lalaikan dari mengingati kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS. Al Kahfi:28)

 

Diriwayatkan Imam Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqash. Ia berkata, “Kami enam orang bersama Nabi Kemudian datang orang-orang musyrik dan berkata kepada Nabi , “Usirlah mereka sehingga tidak menghinakan kami (karena mereka dari kalangan budak, sedangkan orang-orang kafir dari kalangan pembesar)! Sa’ad bin Abi Waqqash berkata, “Dan, saat itu ada aku, Ibnu Mas’ud, seorang suku Hudzail dan Bilal, serta dua orang yang aku lupa namanya.

Maka masuklah pada jiwa Rasulullah apa yang dikehendaki Allah terjadi, dan bergejolaklah jiwanya. Lalu Allah menurunkan ayat:

“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim). (QS. Al An’aam:52)

 

Dan inilah jiwa yang paling mulia, yaitu jiwa Nabi dengan kesabaran bersama orang-orang yang beriman. Dan diantara makna sabar adalah menahan diri. Dalam hal ini, jiwa beliau saw yang mulia mulai berbicara kepadanya, agar cenderung kepada usulan para pembesar Quraisy, yakni mengusir para sahabatnya ra yang terdiri dari orang-orang fakir dari majelis mereka.

Ketika Nabi saw berbicara kepada mereka, datanglah arahan ilahi untuk menahan jiwanya, dari kecenderungan memperhatikan pembesar-pembesar quraisy sebagai obyek dakwahnya, dan menetapkan jiwa Nabi saw bersama sahabat-sahabatnya dari kalangan fakir miskin.

Menjadikan jiwa sabar adalah termasuk metode utama pendidikan jiwa. Karena dengan melawan dan mengekang jiwa dari yang disukai hawa nafsu dan buang-buang waktu adalah obat yang ampuh untuk meningkatkan derajat jiwanya dari tingkatan jiwa “lawaamah” (yang menyesal), sampai pada tingkatan jiwa “muthmainnah” (yang tenang).

 

  1. Mengendalikan nafsu

Nabi bersabda:

“Surga ditutupi (dihijab) dengan hal-hal yang dibenci, dan neraka ditutupi dengan syahwat-syahwat.” (HR. Bukhori)

 

Dalam hadits tersebut, surga seolah-olah menjadi tertutup dengan hijab, dan hijab ini bukan dari kulit atau sutera atau jenis-jenis kain penutup lainnya, tetapi ia terhijab dari hal-hal yang dibenci. Oleh karenanya, itu bukan satu penutup tetapi banyak. Dan hijab yang beragam dengan corak-corak yang beragam, serta warna-warni yang berbeda, karena pada setiap musibah ada warna tersendiri, pada setiap ujian ada corak tersendiri. Maka, tidak mungkin seorang mukmin sampai ke surga, kecuali dengan menyingkap hijab-hijab ini seluruhnya.

Nabi bersabda:

“Surga dibentengi dengan hal-hal yang dibenci dan neraka dibentengi dengan syahwat-syahwat.” (HR. Muslim)

Dalam hadits tersebut, surga dikelilingi dengan benteng-benteng bukan dari semen-semen kokoh, bukan juga dari tanah yang kuat, juga bukan dari besi atau salah satu jenis tembaga, tetapi ia dari hal-hal yang dibenci. Sebagian di antaranya tinggi dan sebagian yang lain rendah, sebagian tebal dan sebagian lainnya tipis. Dan untuk sampai ke surga harus melewati yang rendah dengan meloncat dan meruntuhkan yang tinggi dengan seluruh alat pengahancur yang dimiliki seorang mukmin.

 

  1. Menjaga dari sifat kikir

Allah berfirman:

“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9)

Imam al-Qurthubi berkata, “Kikir dan bakhil (Asy-syukh dan al-bukhl) adalah sama. Beberapa ahli linguistik mengatakan bahwa kikir (Asy-syukh) lebih keras daripada bakhil (al-bukhl). Namun yang benar, “Kikir adalah bakhil dengan sangat tamak. Dan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kikir dengan zakat yang bukan wajib, seperti silaturahmi, menghormati tamu, dan yang sejenis dengan itu…”

Dan kikir termasuk sifat jiwa utama, yaitu jiwa yang menahan pemiliknya dari segala yang mendekatkan kepada Allah swt dan yang mengantarkannya ke surga.

Sesungguhnya Allah ta’ala tidak mungkin memberi taufik kepada jiwa ini untuk bisa mendidik jiwanya dengan tanpa takwa kepada-Nya dan mengembalikan urusannya kepada-Nya.

  1. Tawakal

Para ulama berbeda pendapat mengenai makna tawakal. Namun, pendapat mereka semua bermakna menyerahkan segala sesuatu kepada Allah ta’ala dan dengan keyakinan atas kekuasaan-Nya dapat memenuhinya, juga dengan menampakkan sebab-sebab untuk mendapatkan sesuatu yang dimaksud (ikhtiar), serta melepaskan diri dari bergantung pada sebab-sebab itu, dan bergantung pada yang menjadikan sebab-sebab itu, Dialah Allah ta’ala.

  1. Introspeksi diri

Introspeksi diri bermacam macam. Diantaranya introspeksi yang terputus-putus, yang datang antara waktu –waktu yang berjauhan atau dilakukan setelah kesalahan itu lama dilakukan. Diantaranya juga terlaksana setelah melakukan kesalahan besar, dan diantaranya introspeksi atas kesalahan kecil. Inilah introspeksi yang paling utama, dimana manusia mengintrospeksi jiwanya atas setiap kesalahan yang dilakukannya. Inilah jiwa yang menyesal (lawwammah) yang dijadikan sumpah oleh Allah ta’ala.

 

  1. Berlatih untuk Tadabbur

Al Qur’an tidak mungkin memberi pengaruh pada pembacanya, kecuali dengan mentadaburi ayat-ayat yang mulia yang terdapat di dalamnya. Tidak diragukan lagi bahwa Kitabullah ta’ala adalah pusat untuk penyucian jiwa. Dan tadabur menjadi salah satu usaha untuk menyucikan jiwa.

Perintah untuk mentadaburi Al Qur’an datang dalam Al Qur’anil karim:

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An Nisaa’)

Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, “Orang-orang munafik berpaling dari mentadaburi Al-Qur’an dan memikirkan makna-maknanya. Dan kamu mentadaburi sesuatu, kamu memikirkan akibatnya.”

 

  1. Menjaga Anggota Tubuh

Ulama-ulama salaf ra mendefinisikan iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan beramal dengan anggota tubuh. Karena itu tidak mungkin sempurna keimanan tanpa amal. Kebaikan hati bergantung pada penjagaan terhadap anggota tubuh dan kerusakannya juga bergantung dengan peremehan anggota tubuh.

Ahmad bin Ashim al Anthaki berkata, “Jika kamu menginginkan kebaikan hati-mu, maka tolonglah ia dengan menjaga anggota tubuhmu.”

  1. Mengikat yang ada di dunia untuk akhirat

Contoh sikap generasi tabi’in adalah, pada setiap apa yang dilihat di dunia, mereka ikat dengan sesuatu di akhirat. Jika mereka melihat kegelapan, mereka mengingat kegelapan di alam kubur dan kegelapan ketika melewati shirath. Jika mereka melihat pohon-pohonan yang indah, aliran sungai yang indah dan pemandangan-pemandangan yang menawan hati pada alam yang diciptakan Allah, mereka mengingat keindahan surga yang di dalamnya terdapat pohon-pohon, burung-burung dan sungai-sungai yang mengalir sangat indah.

Demikianlah mereka, pada setiap saat yang mereka lihat di dunia, mereka bandingkan dengan yang ada di akhirat. Imam Hatim al-Asham ra berkata, “Barangsiapa yang memalingkan empat perkara ke empat perkara lain, ia akan mendapat surga; dari tidur ke kuburan, dari kebanggaan kepada timbangan perhitugan akhirat; dari kesantaian ke perjalanan di shirath yang menentukan masuk surga atau neraka.

       10. Pengendalian Jiwa

Terkadang, jiwa menerima untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan akhirat, seperti membaca al-Qur’an, shalat tahaju, zikir, membaca, menulis atau menambah kebaikan dan amal-amal baik lain yang semisal. Juga terkadang menolak untuk melakukan semuanya. Karena itu, bagi orang yang berakal harus bersemangat menggunakannya saat jiwa menerima untuk melakukan kebaikan dengan sebaik-baiknya, agar tidak kehilangan kesempatan ketika jiwanya menolak untuk melakukan amal-amal kebaikan.

      11. Persaudaraan

Menjalin, membina dan menjaga persaudaraan atau ukhuwah termasuk metode utama dalam mendidik jiwa.

Allah berfirman:

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin).” (QS. Al-Hasyr:9)

 

Di antara hadits yang menyebutkan tentang persaudaraan adalah yang diriwayatkan Abu Hurairah tentang tujuh golongan yang dilindungi Allah dalam lindungan-Nya di hari kiamat:

“Dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul dan berpisah karena itu.”(HR. Bukhori)

 

Persaudaraan sesama muslim adalah persaudaraan saling tolong menolong, saling membantu dengan nyata dalam pendidikan jiwa. Di mana tiap orang saling menolong dengan saudara-saudaranya yang lain. Seseorang yang sendiri adalah lemah dan bersama saudara-saudaranya adalah kuat. Dan sulit bagi manusia seorang diri, tanpa saling tolong menolong, untuk mengalahkan kehendak jiwa yang menyuruh pada kejahatan.

 

       12. Do’a

Doa termasuk metode utama yang dapat menyucikan jiwa, Rasulullah saw bersabda:

“Do’a adalah ibadah.” (HR. Ahmad)

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasannya Abu Bakar ra berkata kepada Rasulullah , “Ajari aku dengan sesuatu yang aku ucapkan ketika aku menemui waktu pagi dan sore. Rasulullah bersabda: “Katakanlah, “Ya Allah yang mengetahui yang gaib dan yang tampak, ia menciptakan langit dan bumi, Pemilik segala sesuatu dan penguasanya. Aku bersaksi bahwasannya tiada tuhan, kecuali Engkau, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan jiwaku, dan kejahatan setan dan serikatnya.” (HR. Ahmad)

Imam Ibnu Qoyyim berkata, “Hadits ini mengandung permohonan perlindungan dari keburukan, sebab-sebab, dan tujuan-tujuannya. Karena seluruh keburukan muncul dari jiwa, atau dari setan.

D. Akibat bagi orang-orang yang meninggal-kan Pendidikan Jiwa

  1. Kegagalan dan Kekecewaan

Kegagalan adalah kesengsaraan di dunia dan akhirat, seperti disinyalir Allah :

“Dan merugilah orang yang mengotori (jiwa)nya.”(QS. Asy Syam:10)

 

Di antara kegagalan di dunia yang terlihat adalah:

  1. Lemah, disebabkan lemahnya kemauan dan tekad yang muncul pada nafsu yang menyuruh kepada kejahatan itu, dan yang belum merasakan pendidikan jiwa serta belum disengat dengan cambuk penyucian diri (tazkiyah). Maka ia tetap pada keburukannya selama ia tunduk pada jiwanya itu.
  2. Ragu-ragu, tidak mampu menetapkan pilihan pada pendapat atau plihannya, setiap akan melakukan kebaikan, jiwanya menolaknya dengan melakukan sebaliknya.
  3. Hina, karena ia menjadi hamba bagi jiwanya untuk mengikuti kehendak jiwa yang menyuruh melakukan kejahatan (ammaratun bis suu’). Ia tidak mampu melunakkan jiwanya, maka jiwa itu menjerumuskannya pada daerah-daerah keburukan. Hamba yang hina, terkendali di belakang syahwatnya yang mengajaknya kepada kehinaan.

 

  1. Perdebatan di hari Perhitungan Amal

Ketika jiwa dihadapkan kepada Sang Penciptanya dan ia melihat hakikat yang nyata di hadapan-Nya, tampak ia akan mendapat kerugian besar. Karena itu, ia berusaha mendapatkan segenap jalan keselamatan yang telah diberikan dan yang dilihat di depannya. Maka, ia mendebat dan mengelak ketika diperlihatkan dosa-dosa dan kejahatan-kejahatannya di dunia.

Allah berfirman:

“(Ingatlah) suatu hari (ketika)tiap-tiap diri datang untuk membela dirinya sendiri dan bagi tiap-tiap disempurnakan (balasan) apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. An-Nahl:111)

 

Sayyid Quthub mengatakan, “Hari itu setiap jiwa di sebutkan bersama urusannya, ia tidak melihat kepada selainnya.”

Ayat ini adalah gambaran tentang keguncangan atau kedahsyatan yang menyibukkan setiap orang dengan jiwanya. Manusia mendebat jiwanya dengan harapan selamat dari azab. Namun, tidak ada manfaatnya menyibukkan diri dengan berdebat, karena itu adalah balasan atas perbutan mereka di dunia.” (Tafsir fi zhilalil Qur’an Juz 4)

 

  1. Perhitungan Jiwa

Diantara keajaiban bagi orang-orang yang meninggalkan pendidikan pada jiwanya, yaitu jiwa akan memerangi pemiliknya di hari kiamat nanti, dan menghinakan, karena minim dalam mendidiknya, setelah diberikan kesempatan untuk membacakan catatan amal mereka, dari kemaksiatan dan kesalahan. Dengan demikian berarti mereka menghadapi dua jenis azab, pertama, membaca catatan amalan mereka. Akibatnya adalah mereka sangat menyesal, rugi dan diancam dengan akibat yang menakutkan dari perbuatan-perbuatan buruk mereka.

Kedua, Allah swt memberikan kesempatan pada jiwa mereka untuk menjadi saksi atas perbuatan mereka dan memperhitungkannya, karena mereka minim dalam mendidik jiwa. Hal ini akan menambah kepedihan dan kesengsaraan bagi mereka.

Allah berfirman:

“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitabyang dijumpainya terbuka, “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.”(QS. Al Israa’: 13-14)

 

Ibnu Katsir mengatakan, “Kalungnya adalah yang terlingkar pada amal-amalnya.”

Menafsirkan ayat tersebut beliau mengatakan, “Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka, yaitu mengumpulkan seluruh perbuatannya di dalam buku catatan amal yang diberikan pada hari kiamat. Kalau tidak, dengan tangan kanannya, jika ia akan mendapat kebahagiaan atau dengan tangan kirinya, jika ia akan mendapat kesengsaraan. Kitab itu diberikan terbuka, yakni seluruh amalnya mulai dari bayi sampai akhir hidupnya dapat dibaca oleh dia dan oleh yang lainnya.

E. Pentingnya Tazkiyatun Nafs

Tazkiyah, secara bahasa (harfiah) berarti Tathahhur, maksudnya bersuci. Seperti yang terkandung dalam kata zakat, yang memiliki makna mengeluarkan sedekah berupa harta yang berarti tazkiyah (penyucian). Karena dengan mengeluarkan zakat, seseorang berarti telah menyucikan hartanya dari hak Allah yang wajib ia tunaikan.

Salah satu tujuan utama diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam adalah untuk membimbing umat manusia dalam rangka membentuk jiwa yang suci. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata”. (Al-Jumu’ah: 2).

Dengan demikian, seseorang yang mengharapkan keridhaan Allah dan kebahagiaan abadi di hari akhir hendaknya benar-benar memberi perhatian khusus pada
tazkiyatun nafs (penyucian jiwa). Ia harus berupaya agar jiwanya senantiasa berada dalam kondisi suci. Kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ke dunia ini tak lain adalah untuk menyucikan jiwa manusia. Ini sangat terlihat jelas pada jiwa para sahabat antara sebelum memeluk Islam dan sesudahnya. Sebelum mengenal Al-Islam jiwa mereka dalam keadaan kotor oleh debu-debu syirik, ashabiyah (fanatisme suku), dendam, iri, dengki dan sebagainya. Namun begitu telah disibghah (diwarnai) oleh syariat Islam yang dibawa Rasulullah , mereka menjadi bersih, bertauhid, ikhlas, sabar, ridha, zuhud dan sebagainya.

Keberuntungan dan kesuksesan seseorang, sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia men-tazkiyah dirinya. Barangsiapa tekun membersihkan jiwanya maka sukseslah hidupnya. Sebaliknya yang mengotori jiwanya akan senantiasa merugi, gagal dalam hidup. Hal itu diperkuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sumpahNya sebanyak sebelas kali berturut-turut, padahal dalam Al-Qur’an tidak dijumpai keterangan yang memuat sumpah Allah sebanyak itu secara berurutan. Marilah kita perhatikan firman Allah sebagai berikut:

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan demi bulan apabila mengiringi-nya, dan malam bila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penciptaannya (yang sempurna), maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sungguh beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”. (Asy-Syams: 1-10).

Dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa nantinya harta dan anak-anak tidak bermanfaat di akhirat. Tetapi yang bisa memberi manfaat adalah orang yang menghadap Allah dengan Qalbun Salim , yaitu hati yang bersih dan suci.

Firman Allah :

“Yaitu di hari harta dan anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (Asy-Syu’araa’:88-89).

 

  1. Hakekat Tazkiyatun Nafs

Secara umum aktivitas tazkiyatun nafs mengarah pada dua kecenderungan, yaitu

  • Membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, membuang seluruh penyakit hati;
  • Menghiasi jiwa dengan sifat-sifat terpuji.

 

Kedua hal itu harus berjalan seiring, tidak boleh hanya dikerjakan satu bagian kemudian meninggalkan bagian yang lain. Jiwa yang cuma dibersihkan dari sifat tercela saja, tanpa dibarengi dengan menghiasi dengan sifat-sifat kebaikan menjadi kurang lengkap dan tidak sempurna. Sebaliknya, sekedar menghiasi jiwa dengan sifat terpuji tanpa menumpas penyakit-penyakit hati, juga akan sangat ironis. Tidak wajar. Ibaratnya seperti sepasang pengantin, sebelum berhias dengan beragam hiasan, mereka harus mandi terlebih dahulu agar badannya bersih. Sangat buruk andaikata belum mandi (membersihkan kotoran-kotoran di badan) lantas begitu saja dirias. Hasilnya tentu sebuah pemandangan yang mungkin saja indah tetapi bila orang mendekat akan tercium bau tak sedap.

 

  1. Wasilah Tazkiyatun Nafs

Wasilah (sarana) untuk men-tazkiyah jiwa tidak boleh keluar dari patokan-patokan syar’i yang telah ditetapkan Allah dan rasulNya. Seluruh wasilah tazkiyatun nafs adalah beragam ibadah dan amal-amal shalih yang telah disyariatkan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Kita dilarang membuat wasilah-wasilah baru dalam menyucikan jiwa ini yang menyimpang dari arahan kedua sumber hukum Islam tersebut. Misalnya seperti yang dilakukan oleh beberapa penganut kejawen, dimana dalam membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) mereka melakukan puasa pati geni (puasa terus menerus sehari semalam/wishal) sambil membaca sejumlah mantra. Ada lagi yang mensyariatkan mandi di tengah malam atau berendam di sungai selama beberapa waktu yang ditentukan. Cara-cara bid’ah semacam ini jelas tidak bisa dibenarkan dalam Islam.

Sesungguhnya rangkaian ibadah yang diajarkan Allah dan RasulNya telah memuat asas-asas tazkiyatun nafs dengan sendirinya. Bahkan bisa dikatakan bahwa inti dari ibadah-ibadah seperti shalat, shaum, zakat, haji dan lain-lain itu tidak lain adalah aspek-aspek tazkiyah.

Shalat misalnya, bila dikerjakan secara khusyu’, ikhlas dan sesuai dengan syariat, niscaya akan menjadi pembersih jiwa, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berikut:

Abu Hurairah berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Bagaimanakah pendapat kamu kalau di muka pintu (rumah) salah satu dari kamu ada sebuah sungai, dan ia mandi daripadanya tiap hari lima kali, apakah masih ada tertinggal kotorannya? Jawab sahabat: Tidak. Sabda Nabi: “Maka demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, Allah menghapus dengannya dosa-dosa”. (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadits di atas nampak sekali bahwa misi utama penegakan shalat adalah menyangkut tazkiyatun nafs. Artinya, dengan shalat secara benar (sesuai sunnah), ikhlas dan khusyu’, jiwa akan menjadi bersih, yang digambarkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam seperti mandi di sungai lima kali. Sebuah perumpamaan atas terhapusnya kotoran-kotoran dosa dari jiwa. Secara demikian, bisa kita bayangkan kalau ibadah shalat ini ditambah dengan shalat-shalat sunnah. Tentu nilai kebersihan jiwa yang diraih lebih banyak lagi.

Demikian pula masalah shaum (puasa). Hakekat puasa yang paling dalam berada pada aspek tazkiyah. Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam:

“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum”. (HR Al-Bukhari, Ahmad dan lainnya).

Dalam hadits yang lain disebutkan:

“Adakalanya orang berpuasa, bagian dari puasanya (hanya) lapar dan dahaga”. (HR Ahmad).

 

Ini menunjukkan betapa soal-soal tazkiyatun nafs benar-benar mewarnai dalam ibadah puasa, sehingga tanpa membuat-buat syariat baru sesungguhnya apa yang datang dari syariat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bila diresapi secara mendalam benar-benar telah mencukupi.

Hal yang sama dijumpai pada ibadah qurban. Esensi utama qurban adalah ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berarti soal pembersihan jiwa dan bukan terbatas pada daging dan darah qurban.

Dan firman Allah :

“Daging-daging dan darahnya itu, sekali-kali tidak dapat mencapai derajat (keridhaan) Allah, tetapi keaqwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya”.(Al-Hajj: 37).

F. Penutup

Kalau diteliti lagi masih banyak sekali ibadah dalam syariat Islam yang muara akhirnya adalah pembersihan jiwa. Dengan mengikuti apa yang diajarkan syariat, niscaya seorang muslim telah mendapatkan tazkiyatun nafs. Contohnya adalah para sahabat Rasulullah , mereka adalah generasi yang paling dekat dengan zaman kenabian dan masih bersih pemahaman agamanya, karenanya mereka memiliki jiwa-jiwa yang suci lantaran ber-ittiba’ pada sunnah Rasul dan tanpa menciptakan cara-cara bid’ah dalam tazkiyatun nafs. Mereka mendapatkan kesucian jiwa tanpa harus menjadi seorang sufi yang hidup dengan syariat yang aneh-aneh dan njlimet (rumit).

Bagi seorang muslim, ia harus berupaya menggapai masalah tazkiyatun nafs dari serangkaian ibadah yang dikerjakannya. Artinya, ibadah yang dilakukan jangan hanya menjadi gerak-gerak fisik yang kosong dari ruh keimanan dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya, ibadah apapun yang kita kerjakan hendaknya juga bernuansa pembersihan jiwa. Dengan cara seperti inilah, insya Allah kita bisa mencapai keberuntungan.

G. Daftar Pustaka

Al-Balali, Abdul Hamid, Madrasah Pendidikan Jiwa, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 2003

Mubarok, Dr. Achmad, Sunatullah dalam Jiwa Manusia: Sebuah Pendekatan Psikologi Islam, Cet. Pertama, Jakarta: IIIT, 2002

Tazkiyatun nufuus wa Tarbiyatuha Kama Yuqorriruhu ‘Ulama’us Salaf (Dr. Ahmad Faried).

Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi.

Risalah Ramadhan, Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah.

 


Leave a comment